Politik
jadi begini,
minyak dan air tidak bisa menyatu
yang ini pasti kau sudah tahu
entah jika kau sedikit dungu
jadi, jangan kau namai
minyak dengan air
minyak adalah minyak
air adalah air
Tetapi aku ingin
menyalakan api dengan air
bolehlah, namai saja
dengan minyak
mungkin ia akan nyala barang sekejap
Ikhwan dan Dunia
Dunia, kata Ikhwan
seperti bagal
yang mati dan
membusuk
Bukan,
lebih mirip apel
yang berbiji
Kau belah dagingnya
lalu mata binarmu
menguak benihnya
Kau tanam dengan peluh,tangis dan darah
Jika ada rizki syahid kelak
tak akan kau was-was sebab ikhwan lain telah menunggu giliran
memetik buahnya dan menguak biji dengan binar matanya
ditanam di ladang yang lain
lalu, sirami pula dengan peluh, tangis dan darah
Jika nanti tiba
hari yang dijanji
aku separuh yakin
kau masih sempat selipkan benih dalam rahim bumi
Ode Malam di Prambanan
datang kepadamu
bersama malam dan rintik hujan
dari rumah derita
bernama jogjakarta
ia tak lagi ramah
berteriak "Lapar!"
mata bengis dan kepedihan
aku cuma haus katanya
ia pun merangkak
merayapi jemariku
membagi sepotong biskuit
untuk dua puluh tangan yang tengadah
aku menangis darah
Rindu Padamu
Kitalah yang membuka huma
menanam segala
bunga bernama derita
menanam segala tunas
bernama nelangsa
dengarlah suara radio yang serak
dan redam
"para pengungsi terpaksa makan batu kali"
Oh. Aku melihatmu
di sisi kiriku. menyanyikan lagu kepedihan
dan puisi kemarahan
marah padaku?
Tidak. Pada-Mu
Cinta
Aku selalu berdebat denganmu tentang itu. Ia tidak terdefinisikan katamu. Ia bisa dilihat, diraba, diperkirakan, dinamai, diukur, kataku. Tidak katamu. Iya kataku. Lalu kau begitu saja menggelarku di padangmu, seperti peta. Ini bukan peta buta desahku. Iya, bisikmu.
Ini cinta
Itu cinta
Ini cinta
Itu juga
Biar kutanam cinta disini, katamu. Jangan, disini saja, ini juga tempat cinta bersemayam. Kutunjuk hatiku.
5.44 Ahad, 11 Juni 2006
Rabu, 21 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar