Kamis, 25 Oktober 2007

Meaning

MEMBERI MAKNA-MAKNA
Oleh: Izzatul Jannah


Alangkah bahagianya seorang laki-laki
yang memiliki istri sebait puisi


Itulah sepotong kalimat yang nyasar di ponsel saya. Jika Anda menjadi saya, apakah yang Anda pikirkan pada saat itu? Jika Anda seorang perempuan dan Anda seorang yang cukup sensitif terhadap kata-kata indah, mungkin Anda akan Gede Rasa dan mengira seseorang (yang Anda asumsikan laki-laki karena ia berbicara tentang istri) yang menuliskan itu bermaksud mengatakan bahwa: ia menginginkan seorang istri dan istrinya haruslah indah dan dalam seperti makna sebait puisi, dan mungkin ia adalah Anda (sebab kalimat itu muncul di ponsel Anda, bukan?). Tetapi jika Anda seorang perempuan yang tidak mengerti puisi dan menganggap dunia imajinatif dan kata-kata romantis adalah wasting time, mungkin Anda akan langsung menghapus kalimat itu, mungkin sambil sedikit menggerutu.
Nah, bagaimana jika Anda adalah seorang pria lajang yang belum menikah, mungkin Anda akan berpikir hal yang sama dengan si penulis kalimat, atau sebaliknya bertanya mengapa harus puisi? Mengapa bukan seindah taman surga, atau secantik bidadari? Karena Anda tidak mengerti puisi. Tetapi satu pertanyaan menggelitik, tepat jugakah perumpamaan seindah taman surga atau secantik bidadari, karena sesungguhnya Anda belum pernah melihat kedua-duanya?
Tahukah Anda, betapa kata-kata, kalimat-kalimat, sesungguhnya begitu tulus, jernih, murni dan netral, lalu kitalah yang memberikan makna-makna, tafsiran-tafsiran sesuai pengalaman kita, sesuai cara pandang subyektif kita, sikap dan nilai-nilai pribadi kita, sesuai konteks fisiologis dan psikologis kita, bahkan sesuai dengan gender kita. Begitulah kehidupan kita sehari-hari, dalam hitungan waktu dan ukuran ruang, kita sibuk memaknai kata-kata, kalimat-kalimat sesuai dengan diri kita sendiri.
Saya menjadi teringat dengan kata-kata seorang filosof eksistensialis, Kierkeegard, ia mengatakan, ” Bukan individu yang melahirkan kata-kata, tetapi kata-katalah yang melahirkan individu”. Saya rasa ada benarnya juga, karena kata-kata yang kita maknai secara pribadi itulah yang kemudian membentuk kita.
Lalu dalam konteks kehidupan kita sebagai da’i, alangkah sering segala pemaknaan
Itu kita lakukan dan acapkali jika kita tidak menjaga jarak yang obyektif terhadapnya maka kita akan terpuruk pada prasangka, terjerumus pada ketakutan, kekhawatiran, terjerat pada kesedihan, sebab kita membiarkan kata-kata meringkus kita menjadi kerdil dan sempit. Ketika kita mendengar kata-kata tidak enak dari anak-anak kita misalnya, ”Uh,ummi nakal, aku tidak sayang ummi” kita akan menjadi sedih dan kecewa, karena kita memaknainya dengan penolakan, ketidakcintaan dan mungkin kebencian. Kita lupa bahwa si anak memiliki konteks fisiologis, psikologis, dan cara berpikir sendiri yang tidak bisa dilepaskan yang tidak bisa dilepaskan dari ruang dan waktu.
Sebaliknya, jika kita cukup cerdas, boleh jadi kita akan menggunakan keajaiban pemaknaan kata-kata itu sebagai sarana diplomasi dan perang pemikiran. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW ketika ia ditanya oleh seorang kafir, ”Min aina anta?” Rasulullah menjawab, ”Min maa’”. Jawaban yang cerdik dan genial bukan? Seberapa luas pemaknaan maa’ (air) dibanding jika Rasul menjawabnya dengan menyebut nama kota. Maa’ bisa berarti air, bisa berarti nama kota yang terkenal banyak air (Irak), atau Maa’ bisa berarti air kehidupan, sebab Rasulullah adalah manusia yang tercipta dari air laki-laki dan wanita.
Saya jadi teringat lagi kepada Diogenes seorang tokoh dari kaum sinis dan stoik yang hidup di dalam tong bersama sebuah tongkat dan sepotong roti, pada suatu hari saat ia sedang berjemur sinar matahari saat Alexander Agung datang mengunjunginya dan bertanya kepadanya tentang apa-apa yang diperlukannya, ia menjawab, ”Bergeserlah sedikit, Anda menghalangi sinar matahari”. Haha. Kebahagiaan begitu sulit dicuri darinya, bukan? Sebagaimana sulitnya mencuri kebahagiaan milik Ibn Taimiyah yang ketika ia dipenjara ia berkata, ”Apa yang bisa raja-raja diambil dariku? Sesungguhnya tamanku ada di dalam hatiku”
Demikianlah kita, disebabkan kedangkalan kita terhadap makna-makna, kita sering memberikan tafsir secara harafiah, profan dan meringkus potensi positif kita sendiri. Boleh jadi, pandangan untuk mencapai kondisi jiwa yang sehat ala para psikolog timur ada benarnya, ”Bersikaplah netral terhadap apa saja yang muncul dan hilanglah dalam arus kesadaran”



*Untuk NN di Lembang. Kumaha, damang?
*Pencinta kata-kata, Mahasiswa sekolah pascasarjana program Studi Psikologi UGM

BOOKOGRAFI

  • Bookografi
    Penelitian
    Hubungan Antara Latar Belakang Ekonomi Persepsi dan Motivasi Calon Transmigran Daerah Asal dengan Kesediaan Bertransmigrasi Studi Kasus Kabupaten Karanganyar (Skripsi, 1996)
    Fiksi
    Apa Kabar Cinta? (Era Intermedia Solo, 2001) Novel Best Seller
    Setitik Kabut Selaksa Cinta (Era Intermedia Solo, 2001) Novel
    Padang Seribu Malaikat (Era Intermedia Solo, 2002) Novel
    Festival Syahadah (Era Intermedia Solo, 2002) Novel
    Gadis Dalam Kaca (D&D Publishing Solo, 2003) Novel
    Setangkai Puisi Cinta (D&D Publishing Solo, 2003) Novel
    Menara Langit (DAR! Mizan Bandung, 2003) Novel
    Denting Bintang-Bintang (DAR! Mizan Bandung, 2004) Novel
    Runaway Blues (DAR! Mizan Bandung, 2004) Novel
    Tarian Bidadari (Pena Jakarta, 2005) Novellet
    Edelweiss (Fatahillah Bina Al Fikri Jakarta, 2005) Novel
    Cahaya di atas Cahaya (Asy-Syaamil Bandung, 2000) Kumpulan Cerpen
    Berjuta Hidayah (Asy-Syaamil Bandung,2000) Kumpulan Cerpen
    Gadis di Ujung Sajadah (Fatahillah Bina Al-Fikri Jakarta, 2002) Kumpulan Cerpen
    Perempuan Suamiku (Asy-Syaamil, Bandung) 2003
    Hingga Batu Bicara (Bersama Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, Asy-Syaamil, 1999) antologi cerpen bersama
    Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) antologi cerpen bersama
    Luka Tlah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002) antologi cerpen bersama
    Bulan Kertas (FBA Press, 2003) antologi cerpen bersama
    17 Tahun (FBA Press, 2005) antologi cerpen bersama
    Perempuan Bermata Lembut (FBA Press, 2005) antologi cerpen bersama
    Non Fiksi
    10 seri pengembangan pribadi remaja: diterbitkan Era Intermedia, 2002
    a. Kado buat Sahabat
    b. Every Day is ”PD” Day : Best Seller
    c. How to be a Winner
    d. Easy Going No Way
    e. Nge-gank sama Mami Papi
    f. Be new You!
    g. Bincang-bincang Ramalan Bintang
    h. Histeria Sang Idola
    i. Selamat Datang di Kerajaan Cinta
    j. Nih Dia, Zona Pembelajar
    Diary Pengantin, Asy-Syaamil, 2003 Best Seller
    Karena Cinta Harus Diupayakan, Asy-Syaamil 2004
    Mengeja Cinta dalam Nama-Nya, Asy-Syaamil 2005
  • Buku Anak:
    a. Serial Khalid, Era Intermedia, 2003
    b. Farah dan Kursi Ajaib, D&D Publishing
    c. Puisi Hening, PT. Tiga Serangkai, 2006
    d. Lukisan Terindah, PT. Tiga Serangkai, 2006
    e. Binder Istimewa, PT. Tiga Serangkai, 2006
    Be a Super Star, pandungan remaja untuk sukses D&D Publishing,2005
    Remaja Gila Baca, panduan remaja suka membaca FBA Press, 2006

anakku sahabatku


ANAKKU SAHABATKU
Izzatul Jannah

Apakah menjadi orangtua itu mudah?
Apakah menjadi anak itu mudah?

Ternyata tidak. Sebab menjadi anak dan orangtua sama-sama amanah dari Allah SWT. Masing-masing memiliki tugas, tanggungjawab dan hak masing-masing yang perlu dipelajari melalui diskusi serta coba dan salah.
Tradisi Keluarga
Saya dan suami memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Saya dibesarkan oleh tradisi keluarga yang ekspresif (baik secara positif maupun negative), hangat, terbuka dan cenderung demokratis, tetapi individual, sedangkan keluarga suami saya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang kurang ekspresif, kurang hangat, cenderung otokratis, tetapi lebih sosial (keluarga besar yang menampung banyak saudara: keluarga batih). Hal ini tentunya menyebabkan kami terlebih dahulu harus menetapkan tradisi keluarga seperti apa yang akan kami kembangkan bagi keluarga kami sendiri. Akhirnya, setelah hampir 9 tahun menjadi orang tua, kami mulai memasuki perkembangan yang cukup mantap dalam mengembangkan tradisi keluarga.
Mengikuti sunnah Rasul dalam mendidik Anak
Pola asuh yang ideal adalah mengikuti perkembangan anak sebagaimana yang dinasihatkan oleh sayyidina Ali.ra. Ajaklah anakmu bermain ketika berusia 0-7 tahun, berilah aturan dan didiklah ketika berusia 7-14 tahun dan jadilah teman bagi mereka ketika mereka berusia 14-21 tahun. Fase perkembangan ala sayidina Ali ini rupanya sangat sederhana, mudah diikuti dan tepat. Rasulullah SAW pernah pada suatu hari menggendong balita dari seorang ibu, kemudian balita itu buang air kecil, sang ibu lalu merenggutnya dengan kasar dari gendongan Rasul, lalu apa yang dikatakan Rasul? “Wahai ibu, air seni ini bisa hilang dengan disiram air, tetapi renggutan kasarmu akan membekas selamanya, pada anakmu.” Menurut Anda, apa yang sedang dikembangkan Rasulullah ketika berinteraksi dengan kanak-kanak? Ya! Memberi rasa aman dan kasih-sayang. Lalu ketika Rasulullah berinteraksi dengan praremaja, seorang anak sedang makan bersama orang dewasa yang lain, lalu tangannya menjulur kemana-mana hendak menjangkau makanan, Rasul bersabda: wahai anak, makanlah dengan tangan kananmu dan ambilah yang dekat. Rasulullah sedang menetapkan aturan dan batasan kepada anak-anak. Ketika ada seorang remaja meminta izin pada Rasulullh untuk berzina, Rasul bersada: Apakah engkau suka jika apa yang ingin kau lakukan itu menimpa ibumu? Saudara perempuanmu? Bibimu?. Rasulullah membangun dialog dan mengajak berpikir ketika anak-anak telah beranjak dewasa.
Mendoakannya Setiap Waktu
Saya yakin diantara kita pasti memiliki kebiasaan untuk mendoakan anak dan keluarga, tetapi banyakkah diantara kita yang memiliki kebiasaan mendoakan anak secara terbuka, terang-terangan dihadapan anak?
Tahukah Anda, doa adalah komunikasi paling efektif dan mesra yang bisa kita berikan pada anak-anak kita.
Menghargai dan Mencintai mereka apapun kualitas dan apa yang ada dalam dirinya
Individual differences adalah hal penting yang saya pelajari dalam psikologi. Manusia sebagai makluk berpikir, rasional dan berorientasi ke depan, pastilah memiliki potensi yang tidak tunggal. Masing-masing anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, memiliki perilaku dan cara merespon lingkungn yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, hargai dan berilah motivasi hal-hal positif pada anak Anda apapun potensi itu. Sudahkah Anda mengenal potensi masing-masing anak Anda? Sudahkan Anda menyebut-nyebut bahwa mereka memiliki potensi itu dihadapan mereka sebagai sebuah penguatan?
Menjadi Model bagi Anak-anak Anda.
Modeling adalah sebuah cara paling efektif dalam pendidikan. Karena anak lebih mudah belajar dengan meniru daripada yang lain. Jadi, pertanyaannya? Sudahkah Anda menjadi model yang baik bagi anak-anak anda?
Memilihkan teman dan lingkungan terbaik baginya.
Karena model berikutnya setelah Ibu dan kemudian orang tua adalah lingkungan, maka kita pun wajib untuk mencarikn lingkungan terbaik bagi tumbuh kembang anak-anak kita. Carilah sekolah yang tidak akan berbeda jauh dalam mengembangkan hal-hal positif anak-anak kita. Memiliki tradisi keIslaman yang dekat dengan tradisi keIslaman yang dikembangkan dalam keluarga.
Wallahu ‘alam bishshawwab